Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam
iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi
kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam
iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi
kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam
iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi
kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan
diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada
Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah…
” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan
diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada
Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah…
” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada
Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah…
” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
- Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
- Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
- Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
- Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
- Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
- Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab
untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab
terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini.
Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai
kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan
oleh firman Allah ta’ala,“Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.
” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat
dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi
sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala
berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat
kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan
kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran
mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan
tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami
menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab
untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab
terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab
terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini.
Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai
kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan
oleh firman Allah ta’ala,“Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.
” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai
kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan
oleh firman Allah ta’ala,“Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.
” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat
dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi
sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala
berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat
kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi
sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala
berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat
kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan
kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran
mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran
mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan
tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami
menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami
menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh
seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar
dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan
memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak
akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam
shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang
yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena
kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang
mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh
seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar
dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan
memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar
dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan
memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak
akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam
shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang
yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena
kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang
mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam
shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang
yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena
kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang
mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’
wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak
kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan
fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman
di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang
menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah
sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’
wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak
kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’
wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak
kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan
fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman
di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang
menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah
sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman
di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang
menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah
sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama
Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena
di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal
mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang
datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti
orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di
hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka
dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan
ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan
dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa
besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi
mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.”
(Taisirul wushul, hal. 13-14)
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama
Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena
di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal
mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang
datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti
orang.”
Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena
di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal
mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang
datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti
orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di
hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka
dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan
ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan
dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa
besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka
dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan
ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan
dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa
besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi
mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.”
(Taisirul wushul, hal. 13-14)
mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.”
(Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman
kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka
pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah
pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan.
Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih
hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi
yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu
ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta
berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan
oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap
konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah
yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi
rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi
wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang
datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang
sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla
berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari
kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah
dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman
kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka
pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah
pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka
pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah
pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan.
Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih
hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi
yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu
ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta
berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan
oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih
hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi
yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu
ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta
berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan
oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap
konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah
yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi
rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi
wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah
yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi
rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi
wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang
datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang
sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla
berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari
kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah
dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang
sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla
berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari
kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah
dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh
dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas
padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana
siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya.
Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah
pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh
ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan
minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin
Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa
kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…”
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup
bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa
kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh
salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal
di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan
Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang
tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.
”(HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148)
dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624).
(Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh
dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas
padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana
siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya.
Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah
pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas
padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana
siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya.
Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah
pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh
ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan
minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin
Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa
kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…”
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup
bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan
minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin
Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa
kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…”
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup
bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa
kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh
salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh
salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal
di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal
di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan
Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang
tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang
tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.
”(HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148)
dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624).
(Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
“Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.
”(HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148)
dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624).
(Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri
dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya
dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah
umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka,
sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang
binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur,
dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada
juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah
ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara
mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang
ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah
tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka
kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan
menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat
pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuat
an maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya
di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat
kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya
kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114).
Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.
” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…
” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri
dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya
dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah
umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka,
sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya
dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah
umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka,
sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang
binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur,
dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada
juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur,
dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada
juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah
ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara
mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang
ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara
mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang
ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah
tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka
kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan
menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat
pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuat
an maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka
kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan
menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat
pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuat
an maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya
di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat
kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya
kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114).
Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.
” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…
” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya
di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat
kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya
kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114).
Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.
” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…
” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari
macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah
serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun
di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan
Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai
musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain
sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…
” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari
macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah
serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun
di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan
Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai
musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain
sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…
” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah
serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun
di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan
Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai
musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain
sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…
” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu
ta’alamembuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah,
ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk
cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang
menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah
yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan
anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa
kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu),
atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian
dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau
bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan
syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian
ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin
dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah
hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan
adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada
dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh
sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam
berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah
yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah
maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu
beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari
kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba,
sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri
orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan
alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang
wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau
juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran”
(artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan
atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah
inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak
berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya:
Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari
menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90
tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab
orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran
untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka
dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah.
Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan
bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan
melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah
(meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang
kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah
cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar
terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
sumber :https://muslim.or.id
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu
ta’alamembuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah,
ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk
cabang keimanan kepada Allah)
ta’alamembuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah,
ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk
cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang
menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah
yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan
anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa
kesabaran.
penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang
menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah
yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan
anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa
kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu),
atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian
dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau
bersabar ketika menghadapinya.
atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian
dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau
bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan
syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian
ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian
ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin
dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah
hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah
hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan
adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada
dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada
dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh
sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam
berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah
yang terasa menyakitkan.”
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh
sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam
berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah
yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah
maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu
beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari
kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba,
sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu
beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari
kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba,
sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri
orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan
alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang
wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau
juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan
alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang
wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau
juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran”
(artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan
atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah
inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
(artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan
atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah
inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak
berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya:
Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari
menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya:
Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari
menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90
tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab
orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran
untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka
dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab
orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran
untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka
dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah.
Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah.
Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan
bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan
melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah
(meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang
kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah
cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar
terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan
melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah
(meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang
kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah
cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar
terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
sumber :https://muslim.or.id
0 Response to "Defini Kesabaran"
Post a Comment