Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa salah satu organisasi Islam di Jawa Timur mewacanakan pengharaman facebook. Tentu saja kabar ini segera menarik respon banyak kalangan, baik dari masyarakat umum maupun Majelis Ulama Indonesia. Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi, ketua MUI, H. Amidhan, membantah kalau pengharaman itu berasal dari MUI. Sementara, pendapat masyarakat yang diwawancarai mengenai pengharaman facebook oleh ulama ditanggapi dingin. Menurutnya, ulama yang mengharamkan facebook “kurang kerjaan”.
Ormas Islam dan Fatwa
Dalam Al Qur’an, terdapat perintah agar suatu masyarakat Islam mempunyai sekumpulan orang ahli dalam bidang agama. Sekelompok orang ini difasilitasi oleh masyarakat tersebut untuk menjadi kelompok cendekia. Tugas mereka setelah selesai belajar adalah kembali ke masyarakat untuk mengajarkan agama kepada mereka.
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At Taubah [9]: 122)
Ayat ini setidaknya memberi ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk menyusun sendiri program keagamaan mereka. Sehingga, hampir setiap organisasi masyarakat yang berbasis agama Islam mempunyai semacam ‘majelis fatwa’. NU dan Muhammadiyah misalnya masing-masing mempunyai majelis fatwa dan majelis tarjih. Demikian juga dengan ormas Islam lainnya. Tujuan dari majelis atau dewan fatwa ini adalah untuk merumuskan hukum atas suatu masalah dengan metode istinbath (perumusan) hukum yang sesuai dengan faham masing-masing.
Selain majelis fatwa, beberapa organisasi dan pesantren juga mempunyai program rutin yang disebut pembahasan masalah (bahtsul masa’il). Kegiatan ini biasanya terbuka untuk umum dengan menghadirkan beberapa ahli sebagai narasumber. Topik yang dibahas bermacam-macam. Baik persoalan yang baru muncul maupun persoalan lama yang dianggap masih menyisakan perdebatan. Hasil dari pembahasan ini ada yang di publikasikan ke luar institusi, ada pula yang cukup hanya menjadi hasil kajian internal.
Hasil dari perumusan hukum yang dihasilkan oleh majelis fatwa dan kesimpulan dari bahtsul masa’il oleh institutsi Islam bukanlah fatwa secara mutlak. Sebab fatwa harus dikeluarkan oleh institusi yang resmi dan mengikat secara menyeluruh kepada umat Islam. Oleh karena itu, apapun yang dihasilkan, baik oleh mejelis fatwa dari satu ormas Islam maupun hasil kajian dari sebuah institusi keislaman seyogyanya dilimpahkan kepada Majelis Ulama Indonesia, sebagai institusi resmi di Indoensia. MUI inilah yang mempunyai kapasitas mengeluarkan fatwa.
Facebook dan Etika Islam
Facebook merupakan sebuah fitur yang memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan banyak orang secara sangat mudah. Facebook menjadikan pertemanan semakin mudah dan dekat. Seseorang di Jakarta dapat memperoleh teman atau kenalan di New York dan berkomunikasi dengannya hampir di setiap saat dengan biaya sangat murah. Facebook juga memungkinkan mereka saling bertukar foto dan profil masing-masing sehingga lebih saling mengenal jauh lebih baik dari sekedar berkomunikasi lewat telpon.
Bagaimana dengan etika dalam komunikasi facebook? Sama halnya dengan komunikasi via telepon yang sudah lebih dulu digunakan, komunikasi via facebook juga menuntut etika tertentu. Meski secara teknis tidak ada pembatasan dalam hal berucap atau penayangan profil –bisa saja seseorang berkata-kata tidak senonoh atau menampilkan profil yang kurang bersusila- akan tetapi sanksi moral yang diperoleh justru lebih berat dan lebih cepat. Sebab dalam facebook, profil seseorang yang sudah menjadi “teman” dapat dilihat dan diakses oleh temannya yang lain. Karena itu, seseorang akan berpikir seribu kali jika dia ingin menampilkan sesuatu yang “jorok”. Itu sama saja dengan bertelanjang di muka umum.
Dalam etika Islam, sangat tidak disukai (baca: dilarang) seorang pria dan wanita yang bukan muhrim berdua-duaan. Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian bersunyi-sunyi dengan seorang perempuan lain kecuali disertai muhrimnya”. HR Bukhari dan Muslim.
Hadis di atas mengisyaratkan suatu prinsip dasar etika pergaulan dalam Islam berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Prinsip tersebut adalah larangan pria dan wanita yang bukan muhrim untuk berduaan di tempat yang sunyi. Kalau kasusnya ditarik kepada kasus facebook, maka pertanyaannya adalah apakah berkomunikasi dalam facebook itu sama dengan atau sama bahayanya dengan berduaan di tempat sunyi. Jika sama, tentu hukumnya akan sama pula. Jika tidak, maka hukumnya tidak bisa dipersamakan. Dalam metodologi hukum Islam, metode ini disebut analogi atau qiyas.
Prinsip etika Islam lainnya dalam bergaul adalah larangan bergunjing, menhasut, berkata porno, serta perintah untuk mengucapkan sapaan yang baik, menjawab salam dan seterusnya. Prinsip-prinsip ini jika dapat diterapkan dalam pergaulan dan komunikasi facebook tentu menjadi pergaulan yang baik.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat difahami bahwa facebook sebagai alat dan media komunikasi menempati posisi bebas nilai. Seperti halnya telepon, surat menyurat, dan sebagainya, facebook tidak menempati posisi halal atau haram. Tatacara berkomunikasi, isi komunikasi, serta profil yang ditampilkan, itulah yang bisa dinilai. Apakah sesuai dengan norma dan etika Islam atau tidak. Seorang muslim selayaknya memperhatikan nilai-nilai akhlak Islam dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam menggunakan facebook.[]Sumber: http://kanal3.wordpress.com/2010/03/03/%E2%80%9Cbagaimana-facebook-dalam-pandangan-islam%E2%80%A6/
0 Response to "Pandangan Hukum Facebook Dalam Islam"
Post a Comment