Amazing Baiturrahman; Kisah Awal Mula Masjid Raya Banda Aceh
MATAHARI belum tepat di atas kepala ketika tembakan meluncur dari moncong meriam. Total ada tiga belas letusan. Suaranya gaduh, memekakkan telinga 6.000 orang yang menyaksikan peristiwa itu.
Sebelumnya, Gubernur Jenderal Karel van der Heyden baru saja mengakhiri pidatonya. Di hadapan para ulama, pejabat sipil, dan militer, jenderal yang mata kirinya tertembak pejuang Aceh di Samalanga itu menyampaikan harapannya.
“Kami berharap ini bisa menjadi suatu tanda perdamaian dan kemakmuran bagi masa depan Aceh. Semoga Tuhan memberkati,” kata Heyden dalam bahasa Belanda.
Tembakan meriam dan pidato Heyden menandai peletakan batu pertama pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman.
Hari itu, 2 Desember 1881, Heyden menegaskan komitmen pemerintah Kolonial Belanda menghormati agama orang Aceh. Gamblangnya, dengan membangun masjid, Belanda ingin merebut hati orang Aceh.
Upacara itu diakhiri dengan kenduri besar. Para pembesar Belanda dan tokoh Aceh, makan siang bersama. Bagi Belanda, momen itu simbol terwujudnya perdamaian di tanah rencong. Peristiwa itu diceritakan penulis Belanda J. Kreemer dalam bukunya De Groote Moskee te Koeta Radja.
***
Seratus tiga puluh dua tahun setelah Heyden berpidato, masjid itu masih berdiri megah di pusat Kota Banda Aceh.
Sore itu, pertengahan Oktober lalu, banyak orang lalu lalang. Beberapa di antaranya memotret masjid dengan kamera telepon genggam. Di pintu tengah masjid bagian depan, sejumlah pria sibuk melaburi cat putih di dinding atas, menggantikan cat lama yang telah pudar.
Masjid itu kini menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Belum sah rasanya ke Banda Aceh jika tidak berfoto di depan masjid.
Di bawah sebatang pohon ketapang, ada prasasti yang ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Bunyinya, “Tanggal 14 April 1873, di tempat ini Mayor Jenderal Kohler tewas dalam memimpin penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman.” Dibuat pada 1988, prasasti itu diteken oleh Gubernur Ibrahim Hasan.
Masjid raya memang menyimpan sejuta kisah masa lampau. Dari perlawanan heroik terhadap kolonial Belanda, kemegahan arsitektur, hingga cerita penolakan dari masyarakat Aceh.
Ada dua versi cerita tentang awal mula Masjid Raya: era Sultan Alaudin Mahmud Syah I pada abad ke-13, dan masa kejayaan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17 yang memerintah pada kurun waktu 1607-1636.
Gambar awal masjid raya era Sultan Iskandar Muda muncul dalam sketsa yang dibuat Peter Mundy, seorang pengelana Eropa. Mundy yang mampir di Aceh pada 1637 menggambarkan masjid raya sebagai bangunan persegi yang terbuat dari kayu. Atapnya bukan kubah, melainkan atap berlapis empat piramida berjenjang yang makin ke atas kian mengerucut. Tak ada menara di sampingnya. Bangunan ini dikelilingi pagar serupa benteng.
Gambar karya Mundy ini kemudian menjadi satu-satunya rujukan para sejarawan yang melacak riwayat Masjid Raya Baiturrahman. Wujud masjid dalam sketsa Mundy ini menyerupai Masjid Tuha di Indrapuri, Aceh Besar.
Di awal pendiriannya masjid itu tak berumur panjang. Masa pemerintahan Ratu Sultanah Nurul Alam (1675-1678) masjid terbakar. Lalu Perdana Menteri Habib Abdur Rahman membangunnya kembali dari dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Ketika Belanda menyerang Aceh, masjid itu dibakar karena menjadi benteng pertahanan pejuang Aceh.
Ketika Belanda membangunnya kembali pada abad ke-19, wajah masjid berubah total. Bentuknya belum pernah ada di Aceh.
Sulit sekali menemukan catatan awal bentuk dan rupa masjid dalam bahasa Indonesia. Umumnya para sejarawan masa kini merujuk pada catatan-catatan Belanda.
Pada 1882, penulis Belanda J. Staal menggambarkan wujud masjid raya dalam bukunya De Indische Gids, dan De Missigit Raija in Atjeh. Deskripsi lain muncul dalam buku Tijdschrift voor Nederlandsch Indie” karya K.F.H van Langen. Pada 1920, muncul buku De Groote Moskee te Koeta-Radja karya J.Kreemer, juga penulis Belanda.
Dari sumber-sumber Belanda itulah diketahui sang arsitek bernama De Bruins. Ada yang menyebut ia orang Prancis. Ada yang mengatakan ia dari Italia. Ada juga yang mengatakan ia campuran Italia-Belanda.
Seorang peneliti Belanda bernama Wihelmina Remke Raap pernah mencoba mencari riwayat hidup dan karier De Bruins. Perempuan itu butuh informasi tentang sang arsitek untuk menyelesaikan tesisnya di University of Victoria, Kanada, tentang sejarah arsitektur Masjid Raya Baiturrahman.
Namun pencarian Wihelmina pada 1994 hanya menemukan sedikit informasi tentang Bruins. Disebutkan, De Bruins bekerja sebagai arsitek di Burgelijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum di Batavia, kini bernama Jakarta. Adapun pengawas proyek adalah L.P. Luycks dari lembaga yang sama. Mereka bekerja di bawah kontrol insinyur kepala bernama M.J. Schram.
Bangunan lain yang dirancang oleh arsitek bernama J.J.J De Bruin adalah gedung museum Bank Mandiri di Jakarta. Namun belum ada kepastian apakah ini adalah orang yang sama dengan yang mendesain Masjid Raya Baiturrahman.
Ketika merancang desain masjid, Bruins berkonsultasi dengan seorang ulama asal Garut, Jawa Barat. Sumber-sumber sejarah tak menyebut nama lengkap ulama itu.
Namun, Kamal Arief, arsitek Aceh yang mengajar di Universitas Parahyangan menduga ulama itu adalah Penghulu Haji Hasan Moestafa Kamal. “Beliau ulama Garut yang pernah bertugas di Koetaradja pada masa kolonial,” kata Kamal kepada The ATJEH.
Bruins merancang masjid itu dengan model yang sangat berbeda dengan masjid lama. Alih-alih memakai atap piramida berlapis, Bruins malah memakai kubah yang menggelembung di tengah dan runcing di atas seperti bawang. Puncaknya dihiasi bola kecil dari logam dan runcing di pucuknya. Di pangkal kubah, ada teras kecil dikelilingi pagar besi bermotif.
Kamal pernah melacak pengetahuan orang tentang latar belakang masjid bersejarah itu. “Sepertinya denah itu awalnya berbentuk salib,” begitu dugaan yang muncul dalam penelitiannya.
Benarkah demikian? Kamal menunjuk denah awal yang memanjang ke belakang dengan dua sayap di sisi kiri dan kanan. Bagian tengah berukuran 12 x 12 meter. Sayap kiri dan kanan masing-masing panjangnya 10 meter, membentuk ruang persegi panjang 12 x 10 meter persegi. Total luas lantai interior berukuran 624 meter persegi. Jika ditarik garis, dapat juga disebut lebih mirip simbol tambah dalam matematika.
Itulah sebabnya, Kamal mencari tahu mengapa konsep seperti itu yang digunakan membangun masjid. Untuk mencari jawaban ini, ia menelusuri riwayat arsiteknya, siapa lagi kalau bukan De Bruisn. Jejaknya dilacak hingga ke arsip nasional Belanda pada 2004.
Namun informasi tentang sosok itu sangat minim. Secuil catatan yang ditemukan Kamal, yaitu Bruins adalah seorang arsitek pada pasukan militer Belanda. “Saya coba cari di Den Haag maupun KITLV Leiden, namun tidak ada catatan lain. Mungkin pada saat itu Bruins belum mengenal bentuk denah sebuah masjid,” kata Kamal.
Berdasarkan referensi sejumlah penulis Belanda, di bagian atas gerbang pintu masuk ditempatkan sebuah jam bundar yang diapit relief dua mawar berkelopak delapan. Jika ditarik garis lurus, posisi jam dan relief mawar membentuk segitiga sama sisi. Penggunaan jam ini sebagai penanda masuknya waktu salat.
Untuk masuk ke masjid melewati lima lengkungan yang tinggi: tiga di teras depan, dua lainnya pada setiap sisi pintu masuk. Gerbang dengan lengkungan di atas itu ditopang pilar penyangga bulat yang bagian atasnya dihiasi ornamen.
Di atas lengkungan terdapat tulisan yang diukir dalam aksara Arab. Atap masjid di bawah kubah memiliki delapan lubang angin berbentuk lingkaran, serupa lubang angin di dinding kapal laut.
Lantainya terbuat dari marmer putih. Di bagian atas, pada keempat sisi atap di bawah kubah, ada tulisan ayat Alquran berwarna kuning keemasan dengan latar hijau.
Di sayap kiri kanan, masing-masing dilengkapi tiga jendela yang dilapisi jeruji besi dan ornamen.
Di bagian belakang, ruangan yang tertutup dinding mihrab digunakan sebagai ruang sidang oleh kadi. Di ruang ini, ada sebuah tangga panjang yang menuju ke lantai dua, tempat teras kecil di sekeliling kubah. Ada 15 jendela kecil di bagian kubah.
Mihrab berbentuk ceruk di dinding belakang yang mengarah ke kiblat dihiasi lapisan keemasan. Mimbar tempat khutbah berupa sebuah kursi ukir yang diletakkan di ceruk mihrab.
Di waktu malam masjid itu diterangi lampu kandil yang dipasang dengan biaya 5.000 gulden.
Di belakang masjid ada dua bangunan kecil yang juga diberi atap kubah. Bangunan berbentuk persegi ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan perkakas masjid.
Belanda menghabiskan duit sekitar 200.000 gulden untuk membangun masjid ini. Kontraktornya adalah Lie A Sie. Dia satu-satunya orang yang memasukkan penawaran ketika tender dibuka. Lie adalah orang China-Aceh. Berpangkat Letnan, ia bekerja sebagai bagian dari tentara Belanda.
Inilah proyek Belanda berbiaya tinggi di Aceh. Hampir seluruh bahan bangunan didatangkan dari luar Aceh. Demi memuluskan tujuan merebut hati orang Aceh, pemerintah Belanda tetap memprioritaskan pembangunan masjid.
Awalnya Belanda berharap menggunakan tenaga kerja Aceh, tetapi setelah upaya pendekatan gagal karena pekerja lokal tidak tertarik, juga karena perang terus berlanjut, rencana itu dibatalkan dan memilih memakai tenaga kerja orang China yang notabenenya nonmuslim.
Bahan bangunan yang dipakai didatangkan dari sejumlah negara. Batu bata dari Belanda, kayu jati dibawa dari Burma (British-India), marmer dari China, besi untuk jeruji jendela dan pagar teras kubah didatangkan dari Belgia dan Surabaya. Genteng keramik dibawa dari Palembang.
"Clearly the Dutch chose not to support the Acehnese economy but only brought in materials from abroad and from parts of Indonesia under Dutch control, so that the colonial economy could prosper from it,” tulis Wihelmina dalam tesis S2-nya.
***
BAGI orang Aceh, model masjid yang dibangun Belanda tidak lazim pada masa itu. Dari mana Bruins mendapat idenya? Adakah bangunan serupa di belahan dunia lain atau model bangunan apa yang merasuki benak Bruins? Berpuluh tahun kemudian, sejumlah peneliti dalam dan luar negeri menjadikan arsitektur Masjid Raya Baiturrahman sebagai objek penelitian.
Bagi Wihelmina, tiga lengkungan setengah lingkaran di pintu masuk Masjid Raya yang ditopang tiang bulat menyerupai The Court of Myrtles, salah satu bagian dari Alhambra, istana raja sekaligus benteng di Kota Granada, Spanyol. Terletak di atas bukit, istana megah dengan gaya arsitektur yang menawan ini dibangun pada masa kejayaan Islam di Spanyol pada abad ke-13.
“Pintu masuk masjid dengan motif ukiran segi empat berbentuk diagonal di atasnya mirip dengan yang di Alhambra. Bruins mungkin melihatnya dalam publikasi tentang Alhambra yang dipamerkan di Prancis dalam waktu yang hampir bersamaan dengan perencanaan masjid di Aceh,” tulis Wihelmina.
Pola hampir sama juga ditemukan pada Masjid Cordoba, Spanyol. Bedanya, kata Wihelmina, lengkungan tapal kuda di masjid yang kini dijadikan gereja itu berbentuk setengah lingkaran, sedangkan di Masjid Raya Banda Aceh lengkungannya meruncing di tengah.
Pola geometris yang terdapat pada jeruji jendela, menurut Wihelmina, adalah pola Mesir yang ditemukan dalam buku berisi kumpulan pola dan arsitektur Arab karya Emile Prisse d’Avennes yang diterbitkan di Prancis pada 1869-1877. Buku ini hingga kini masih menjadi rujukan arsitektur Arab. Pola serupa juga ditemukan dalam buku legendaris karya J. Bourgoin berjudul Les Elements del art arabe: le sifat des entralacs. Buku ini dipamerkan di Paris pada 1879.
Sebagian besar isi buku Prisse d’Avennes berkaitan dengan arsitektur Mamluk dari pertengahan abad ke-13 hingga abad ke-16. Salah satu tujuan penerbitan buku itu untuk melayani desain arsitek Eropa.
“Mungkin Bruins telah melihat desain ini dalam buku-buku itu mengingat penerbitannya berdekatan dengan tahun ia mulai merancang masjid,” tulis Wihelmina.
Wihelmina bersandar pada kenyataan bahwa budaya Prancis sangat dihormati di Belanda saat itu. Selain itu, buku-buku berbahasa Prancis diminati kaum elite dan akademisi Belanda.
Wihelmina memberi catatan tentang penggunaan unsur delapan lubang cahaya berbentuk bulat. Kata dia, pola itu sering dipakai di Gereja Gotik. Arsitektur Gotik berkembang dari Prancis sekitar abad ke-13 hingga 16. Konsep ini hadir dari keyakinan bahwa Tuhan hadir di mana saja seperti cahaya.
Adapun hiasan bunga memanjang di kedua sisi di atas lengkungan pintu masuk, Wihelmina menduga Bruins terinspirasi dari ornamen serupa di Masjid Tala’i ibnu Ruzzik yang dibangun pada abad ke-12. Pola itu juga terdapat dalam buku Prisse d’Avennes.
Peneliti lain yang membedah arsitektur Masjid Raya adalah Izziah. Ia mengepalai Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Pada 2009, ketika meraih gelar S3 dari University of Adelaide, Australia, Izziah merampungkan tesis berjudul “Architecture and the Politics of Identity in Indonesia; A Study of the Cultural History of Aceh.”
Menurut Izziah, Masjid Raya bergaya Mughal. Ini adalah genre arsitektur yang berkembang di India. Gaya ini muncul di Taj Mahal, bangunan megah dan bernilai seni tinggi di India yang dibangun selama 22 tahun pada kurun waktu 1630-1653 oleh Kekaisaran Mughal.
“Gaya Mughal ini dapat dilihat dari kubah Masjid Raya yang sama dengan kubah-kubah Taj Mahal. Memang ada pengaruh Eropa, tapi gaya Mughal lebih dominan,” kata Izziah.
Izziah sepakat gaya Eropa muncul di masjid raya dalam bentuk corak ukiran dan penggunaan material berupa batu bata dan konstruksi beton yang kokoh. Begitu pula dengan lengkungan-lengkungan dan motif daun-daunnya. “Namun begitu, gaya Mughal tetap lebih dominan karena Belanda menjadikan India sebagai rujukan,” ujarnya.
Wihelmina sependapat kubah masjid mengingatkan pada gaya Mughal. Namun, tetap saja Masjid Raya juga mewarisi gaya Moorish yang muncul di Alhambra dan Masjid Cordoba. Istilah Moorish merujuk pada bangsa Moor dari Afrika yang kemudian menguasai Spanyol sebelum runtuhnya kejayaan Islam di sana.
Penulis Belanda sendiri membandingkan Masjid Raya dengan bangunan di Eropa. J. Kreemer, misalnya, menyebut secara keseluruhan Masjid Raya dibangun dengan gaya Byzantium. Istilah ini merujuk pada gaya arsitektur Yunani kuno dari Byzantium yang kini dikenal dengan nama Istanbul, Ibu Kota Turki.
Gaya Byzantium ini tidak hanya dipakai untuk masjid, tetapi juga gereja. Bentuknya berkubah seperti masjid, tapi ada salib di atasnya seperti banyak ditemukan di gereja Rusia.
Senada dengan Kreemer, penulis Belanda lain, K.F.H van Langen membandingkan Masjid Raya dengan Hagia Sophia di Istanbul. Hagia Sophia awalnya adalah gereja, lalu difungsikan sebagai masjid pada 1453. Tanda salib di puncak kubah diganti dengan bulan sabit. Belakangan, bangunan ini dijadikan museum.
Munculnya percampuran gaya arsitektur membuat Wihelmina sampai pada kesimpulan: Masjid Raya benar-benar punya akar internasional. Para ahli lain menyebut Masjid Raya bergaya elektik, percampuran unsur-unsur terbaik dari berbagai negara.
Kamal Arief juga sepakat. Kata Kamal, Masjid Raya mengadopsi gaya arsitektur kolonial yang banyak muncul di India dan semenanjung Malaya saat itu. “Makanya hadir bentuk lengkung-lengkung bergaya Mughal bercampur gaya Eropa, Timur Tengah, dan unsur tropis.”
***
Bagaimana sambutan masyarakat Aceh terhadap masjid itu? Tengoklah apa yang ditulis J. Kreemer. Katanya, orang Aceh tampak acuh tak acuh terhadap masjid baru itu. Kreemer juga menyebut tentang sepucuk surat yang dilayangkan Gubernur Jenderal K. van der Heijden kepada pemerintah kolonial di Batavia, tertanggal 19 Februari 1879.
Heijden melaporkan tentang kesulitan yang dialami Belanda untuk melibatkan orang Aceh dalam pembangunan masjid. Sebab, masyarakat Aceh ketika itu menganggap sembahyang di masjid yang dibangun oleh "kaphé" tidak sah. Akibatnya, hanya sedikit orang yang bersembahyang di sana.
Maka, jadilah masjid yang megah itu hanya untuk kegiatan saat memotong sapi menyambut uroe meugang. Artinya, harapan Belanda menjadikan Masjid Raya sebagai simbol perdamaian tak terwujud. Nyatanya, perang gerilya terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian.
Penolakan tak hanya datang dari orang Aceh, tapi juga di negeri Belanda. Mereka protes karena pemerintahnya menghabiskan banyak uang membangun rumah ibadah untuk masyarakat yang menganut agama yang berbeda dengan mereka.
“Een ledig monument onzer dwaasheld (sebuah monumen yang gagal, hasil dari kebodohan kita),” kata Snouck Hurgronje pada 1899.
Menurut Kamal Arif, fakta penolakan itu menunjukkan ide membangun kembali masjid itu semata-mata untuk kepentingan strategi kolonial Belanda, tetapi tidak memiliki makna sosial bagi rakyat Aceh dan Belanda.
***
Siang itu, ketika kami berdiri di halamannya dan menghujam pandangan ke arah masjid, bangunan itu jauh lebih besar. Ukurannya yang semula hanya 624 meter persegi, kini menjadi 4.760 meter persegi. Jumlah jamaah yang tertampung mencapai 9.000 orang.
Kubahnya telah bertambah menjadi tujuh. Empat menara menjulang: dua di sisi kiri dan kanan, dua lainnya di belakang.
Pintu masuknya kini menjadi tujuh, tiga di depan, dua di sisi kiri, dan dua di kanan. Ruang utama yang dibangun pada 1881 kini terasa kecil, hanya menempati satu dari 35 blok berukuran 12 x 12 meter. Jangan harap akan melihat wujud awal yang mirip salib di denah awal.
Bentuknya kini menjadi empat persegi panjang. Blok itu dipakai sebagai tempat salat kaum perempuan. Ukiran kaligrafi ayat Alquran berwarna kuning dengan latar hijau masih tertera di ke empat sisi dinding atas di bawah kubah pertama.
Atap masjid kini ditopang 20 tiang besar berbentuk persegi empat seukuran pelukan dua orang dewasa. Setiap tiang besar dikelilingi empat tiang bulat dengan ukuran lebih kecil. Ini belum termasuk ratusan penopang lain yang ada di sela-sela tiang utama.
Warna dalam masjid umumnya putih. Namun pada beberapa ukiran dan hiasan terdapat warna berbeda. Ada hijau tua, kuning emas, cokelat, merah tua, dan bahkan warna ungu seperti terlihat pada langit-langit masjid bagian tengah dan belakang.
Relief arabesk juga mendominasi dinding-dinding bagian dalam masjid. Lokasi imam berdiri saat memimpin salat dibuat agak menjorok ke dalam. Berbentuk gerbang, bagian dalamnya dilapisi sejenis plat warna kuning emas. Di sana juga terpampang ukiran aksara Arab dengan warna serupa.
Masjid karya De Bruins itu memang telah mengalami beberapa perombakan. Pada 1936, Gubernur Jenderal A.P.H. van Aken menambah dia kubah di sebelah kiri dan kanannya. Penambahan kubah dirancang oleh arsitek Aceh bernama Insinyur Thaher. Desainnya tetap bersandar menduplikasi rancangan De Bruins, termasuk ukiran-ukiran dan ornamen.
Perubahan itu otomatis menghilangkan denah berbentuk salib. Masjid yang mula-mula ditolak itu pun perlahan mulai diterima masyarakat. Perubahannya tak berhenti di situ. Masjid raya mengalami beberapa kali perluasan sesudahnya, termasuk menghadirkan kolam dan sebuah menara besar di depannya. (Lihat infografis).
Dengan segala keindahan dan sejarahnya itulah masjid raya berhasil menarik perhatian dunia.Huffington Post, media online yang berkantor di Amerika Serikat, belum lama ini memasukkannya dalam daftar 100 masjid mengagumkan di dunia. Sementara raksasa internet Yahoomenempatkannya di urutan 10 besar terindah dunia.
***
Bermula dari penolakan, Masjid Raya Baiturrahman ini menjelma menjadi ikon kebanggaan rakyat Aceh. Namun, ada hal lain yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Masjid Raya kini dikepung deretan pertokoan dari delapan penjuru angin.
Setelah bencana gempa dan tsunami pada Desember 2004, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) - Nias pernah berniat meratakan bangunan di sekeliling masjid yang sebagian di antaranya rontok diguncang gempa.
Tujuannya, membangun taman besar di sekeliling masjid raya hingga ke pinggir Krueng Aceh yang mengalir tak jauh dari masjid. Dengan begitu, kemegahan masjid bisa lebih menonjol. Jika terwujud, dari pinggir kali orang-orang bisa memandang masjid dengan leluasa.
Namun, entah mengapa rencana itu batal terwujud. Akibatnya, hingga kini masjid raya masih dikepung pertokoan. Toko-toko yang dulu rontok telah dibangun ulang oleh pemiliknya.
Padahal, jika rencana itu terwujud, pastilah Masjid Raya terlihat lebih megah laksana taman Taj Mahal yang diyakini para arsitektur sebagai salah satu yang mempengaruhi wajah masjid ini. []sumber: Majalah The Atjeh
0 Response to "Kisah Awal Mula Masjid Raya Banda Aceh"
Post a Comment